PT Rifan Financindo - DEPOK, Indikator kesenjangan atau koefisien Gini di Indonesia semakin meningkat tajam. Ketimpangan sosial tersebut bisa menghambat potensi pertumbuhan jangka panjang Indonesia.
Demikian kata Managing Director dan Chief Operating Officer World Bank atau Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati dalam kegiatan Temu Wicara Mahasiswa bersama Sri Mulyani Indrawati di Auditorium Djokosoetono, Gedung B Lantai 2, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Selasa 26 Juli 2016. Eks Menteri Keuangan tersebut didaulat sebagai pembicara dengan tema "Yang Muda Yang Beraksi: Peranan
Pemuda dalam Menyukseskan Pembangunan Berkelanjutan yang Inklusif".
"Salah satu kekhawatiran terbesar saya adalah meningkatnya ketimpangan di antara masyarakat. Indikator kesenjangan (koefisien Gini) Indonesia meningkat tajam dari 30 pada 2003 ke 41 pada tahun 2014," ucap Sri. Dia menilai, ketimpangan tersebut banyak ditentukan hal-hal di luar kendali penderita. Menurutnya, sepertiga dari ketimpangan di Indonesia disebabkan oleh empat faktor saat seseorang dilahirkan. Empat faktor tersebut adalah provinsi tempat dilahirkan, lahir di desa atau kota, apakah kepala rumah tangganya perempuan, serta tingkat pendidikan orangtua.
"Dengan kata lain, kesenjangan pendapatan bukan sekadar dampak dari ketimpangan semata, tetapi akibat adanya ketimpangan peluang," ucapnya. Anak-anak Indonesia yang lahir dengan ketimpangan itu akan sulit mengatasi ketimpangan di masa depannya. Sri mencontohkan, kesenjangan terkait persoalan layanan kesehatan. "Sekitar 37 persen balita Indonesia mengalami stunting atau tidak menerima nutrisi yang cukup, mulai dari kandungan hingga usia 2 tahun. Stunting mengakibatkan otak seorang anak kurang berkembang," tutur Sri.
Dengan demikian, lanjutnya, 1 dari 3 anak di Indonesia akan kehilangan peluang lebih baik dalam pendidikan dan pekerjaan di sisa hidup mereka. "Ini adalah musibah bagi Indonesia, tingkat stunting di Indonesia sangat tinggi dibanding negara tetangga. Misalnya, tingkat stunting di Thailand adalah 16 persen dan Vietnam 23 persen," kata Sri.
Selain persoalan kesehatan, ketimpangan peluang juga terjadi dengan belum meratanya kualitas pendidikan. "Sekolah di desa berpeluang lebih kecil untuk memiliki guru yang terlatih dan fasilitas yang baik. Ketidakhadiran guru pun menjadi masalah," ucap Sri. Akibatnya, capaian pendidikan sangat bervariasi antara kabupaten dengan kota dan antar provinsi. "Sebagai contoh, anak kelas 3 SD di Jawa bisa membaca 26 hurup lebih cepat per menit dibanding anak di Nusa Tenggara, Papua, atau Maluku," ujarnya.
Pada tingkat SMA, angka partisipasi sekolah turun drastis bagi penduduk miskin. "Hanya 33 persen anak-anak dari kelompok dua puluh persen termiskin tetap sekolah pada tingkat SMA, dibandingkan dengan 76 persen untuk kelompok dua puluh persen terkaya," ucapnya.
sumber: pikiranrakyat.com